Wednesday, 21 September 2016

Sejarah Desa Popongan

Berdasarkan cerita dari leluhur bahwa Desa Popongan sudah beralih cerita menurut jamannya. Pada abad ke-16, pada jamannya Mataram Hindhu di perintah oleh Dyah Watukuro, Popongan diberi nama Poh Pitu lokasi sekarang di daerah Popongan Kidul. Poh Pitu pada saat itu adalah tempat peribadatan agama Hindhu. Buktinya di daerah Popongan ada dearah yang bernama Kentheng dan daerah Tugu. Kentheng letaknya di daerah Kriyan, sedangkan Tugu di daerah pedukuhan Gegunung. Pernah pada tahun 1974, penilik kebudayaan Banyuurip, Bapak Dalimin pernah mensurvei untuk meyakinkan bahwa di Popongan dulu ada tempat percandian atau tempat peribadatan. Bukti telah ditemukannya 2 buah yoni, satu di tempat Bapak Cundhuk KS, yang ke dua di tempat Bapak Darmaji. Setelah diadakan penggalian dearah si Tugu dengan kedalaman kurang lebih 8 meter telah ditemukan sebuah batu Lingga. Setelah dilaporkan akan tetapi tidak ada tindak lanjut oleh instansi yang terkait. Popongan awalnya dinamakan Poh-pitu, karena ada pohon Poh-pohan yang berjumlah 7 buah sehingga dinamakan Poh-pitu sampai sekarang daerah tersebut banyak ditumbuhi pohon Poh-pohan. Letaknya di daerah pinggiran selatan berbatasan dengan desa Cengkawakrejo. Penguasa jaman dulu sebagai jaman perdikan (bebas pajak) namanya buyut Reso Wahono, makanya di daerah si Sumpel mungkin itu dirahasiakan perkiraan lokasinya di daerah Karangjati, pinggiran bawah rumpun bambu. Mempunyai keturunan atau tidaknya buyut Reso Wahono tidak diketahui dengan jelas. Sejarah berjalan Poh-pitu akhirnya di perintah oleh Demang Stotrumo. Beliau adalah putra dari Raden Tumenggung Rogonoyo cucu dari Kanjeng Raden Tumenggung Nilosrobo yang pada waktu itu menjabat sebagai Bupati Bagelen. Atas perintah Sri Susuhunan Pakubuana ke 5 pada waktu itu terjadi pergolakan besar di tanah Jawa yang dinamakan Perang Diponegoro tahun 1825-1830. Pada waktu itu wilayah Bagelen di bawah Panji-panji Surakarta yang pro kepada Belanda, tetapi Kanjeng Tumenggung Nilosrobo berpihak kepada pangeran Diponegoro sehingga terjadilah perang besar di daerah Bagelen dan sekitarnya. Poh-pitu mendapat bantuan senopati-senopati perang yang berjiwa pahlawan dan sakti, antara lain:
  1. Yang Mulia Bendoro Raden Ayu Atas Angin (BRA. Retno Palupi) dan dayangnya BRA. Ayu Serang.
  2. RM. Mangunwilogo. 
  3. Putra Pangeran Diponegoro yang bernama Diposonto. 

Pada waktu itu Poh-pitu diganti nama dengan Peng-pengan karena kehebatannya dari tiga senopati itu sangat diperhitungkan oleh Belanda. Konon ceritanya RM. Mangunwilogo dapat mencuri kereta dan kuda Bupati Purworejo yang pertama Cokronegoro 1 (ada cerita lain yang dicuri merupakan kereta kuda milik kerajaan mataram) hanya dengan selembar kain kacu (sapu tangan) dan dibawa pulang ke Poh-pitu yang beralih nama menjadi Peng-pengan
Masa akhir perang Diponegoro(1830) terjadi perang habis-habisan (Pog-pogan). Sejak itulah Peng-pengan bergeser nama menjadi Pog-pogan. Karena pada waktu itu sebagian besar pengikut Pangerang Diponegoro di daerah Pog-pogan gugur ataupun habis (puputan). Konon ceritanya BRA. Atas Angin moksa di tepi sungai Bogowonto lalu dikeramatkan sampai sekarang tepatnya di pemakaman Atas Angin. Pangeran Diposonto moksa di daerah Karangjati, tempat yang sekarang ditempati kepala dusun Karangjati rumah Mbah Ranu Sumarjo. Sejarah bergeser pada waktu itu desa Pog-pogan di perintah oleh Glondong Kartopawiro ada suatu kejadian pada waktu itu Glondong Kartopawiro sedang pergi ke sungai Bogowonto melihat ada orang hanyut di dalam bronjong babi, orang tersebut tidak di ketahui asal-usalnya, setelah dinaikkan dan dibawa kerumahnya ternyata orang itu ternyata masih hidup tetapi sudah kehilangan ingatannya kemudian oleh Glondong Kartopawiro di beri nama Amat Supi karena orang itu mempunyai keganjilan bisa hidup kembali dan sampai sekarang Pog-pogan menjadi Popongan.


Sejarah Kepemimpinan Desa Popongan 
Eyang Suto Truno ingkang Trukoyoso (pendiri) Desa Popongan
Nama-Nama yang pernah memimpin Desa Popongan:
  1. Karto Igeno
  2. Mondro
  3. Glondong Kartopawiro
  4. Idris 
  5. Medi 
  6. Sontomiharjo (Parino)
  7. Prawiro Atmojo (Slamet)
  8. Supariyo (1969-1999)
  9. Sucipto (1999-2013)
  10. Miftachuzzaman (2013-Sekarang)
sumber: dari berbagai sumber